Daging sintetis dan daging vegan merupakan dua jenis daging yang berbeda, walaupun sama sama dihasilkan dengan tehnologi tinggi yang dapat mengendalikan efek negatif dari peternakan tradisional, tetapi kedua jenis daging tersebut merupakan dua hak yang berbeda,
Daging sintetis meruoakan daging yang dihasilkan dari kultur jaringan sel oto hewan dalam laboratorium, tentu saja dari segi spioritual, berbagai agama dan kepercayaan belum tentu dapat menghalakan pemeluknya mengkonsumsi daging sintetis ini.
Sementara daging vegan, yang dihasilkan dari ekstraksi protein tumbuh-tumbuhan, lebih mudah diterima berbagai agama dan kepercayaan. Dalam Islam, penamaan suatu makanan dapat mempengeruhi kehalalan prioduk tersebut, maka jika daging vegan ini diberi nama dengan yang haram, misalnya daging babi vegan, maka kehalalan nya dapat saja diragukan
Kebutuhan global akan protein hewani semakin meningkat, sementara tantangan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam juga semakin terasa. Inovasi dalam industri pangan, khususnya dalam pengembangan daging sintetis dan daging vegan, telah menjadi solusi yang menarik dan berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Selain menawarkan alternatif yang lebih ramah lingkungan, kedua jenis daging ini juga menarik perhatian karena potensi mereka untuk mengurangi ketergantungan pada peternakan konvensional yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan dan kesejahteraan hewan.
Namun, selain dari aspek keberlanjutan dan kesehatan, ada pertanyaan penting yang sering muncul terkait dengan hukum agama, terutama dalam perspektif halal bagi umat Islam. Apakah daging sintetis dan daging vegan halal? Sebelum membahas hal tersebut, mari kita telusuri lebih dalam tentang apa itu daging sintetis dan daging vegan, serta sejarah dan penemuannya.
Daging sintetis, atau lebih dikenal dengan sebutan daging kultivar, adalah jenis daging yang dihasilkan melalui proses bioteknologi dengan cara membudidayakan sel-sel hewan di laboratorium. Proses ini memungkinkan produksi daging tanpa harus membunuh hewan. Daging sintetis dapat diproduksi dengan mengambil sel otot hewan (biasanya dari sapi, ayam, atau babi), lalu menumbuhkannya dalam media kultur sel yang kaya nutrisi untuk meniru proses pertumbuhan alami daging.
Sejarah Penemuan Daging Sintetis
Ide untuk menciptakan daging sintetis sudah ada sejak abad ke-20, namun penemuan praktisnya baru dimulai pada awal 2000-an. Berikut adalah beberapa titik penting dalam sejarah daging sintetis:
1990-an: Peneliti mulai bereksperimen dengan teknik kultur sel untuk menghasilkan daging tanpa memotong hewan. Teknologi ini awalnya digunakan dalam bidang medis untuk menumbuhkan jaringan dan kulit manusia.
2008: Penemuan yang lebih nyata datang dari Mark Post, seorang ilmuwan asal Belanda, yang kemudian dikenal sebagai "penemu" daging sintetis. Mark Post bersama timnya di Universitas Maastricht berhasil mengembangkan daging hamburger pertama yang dibuat di laboratorium. Daging ini terbuat dari kultur sel sapi yang dibudidayakan dalam kultur media.
2013: Hamburger pertama yang dibuat dari daging sintetis diproduksi dan dimasak untuk pertama kali di London, yang menjadi sorotan media dunia. Proyek ini mendapat perhatian luas sebagai inovasi di dunia pangan, meskipun harganya sangat mahal pada awalnya (sekitar 300.000 USD untuk satu hamburger).
Saat ini: Teknologi daging sintetis terus berkembang, dengan banyak perusahaan start-up dan raksasa industri makanan seperti Impossible Foods, Beyond Meat, dan Memphis Meats yang berusaha menciptakan produk yang lebih murah, lebih lezat, dan lebih efisien dalam hal energi dan sumber daya.
Daging vegan adalah produk makanan yang dibuat dari bahan-bahan nabati yang dirancang untuk meniru tekstur, rasa, dan penampilan daging hewan. Daging vegan tidak mengandung bahan-bahan hewani dan bisa berbahan dasar kedelai, kacang-kacangan, jamur, atau bahan lain yang diolah sedemikian rupa untuk meniru daging asli.
Sejarah Penemuan Daging Vegan
Meskipun konsep makanan berbasis tanaman sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dalam berbagai tradisi kuliner, pengembangan daging vegan modern baru berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, beriringan dengan peningkatan kesadaran akan kesehatan dan keberlanjutan lingkungan.
1960-an: Konsep daging nabati mulai populer di kalangan vegetarian. Namun, produk-produk tersebut biasanya hanya berbentuk olahan tempe atau tahu yang lebih sederhana dan tidak benar-benar menyerupai daging hewan.
2009: Beyond Meat, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Ethan Brown, memperkenalkan produk daging berbasis kedelai yang lebih mirip dengan daging asli. Produk ini memperoleh perhatian besar karena kemiripannya dengan daging sapi, baik dari segi tekstur maupun rasa.
2015: Impossible Foods meluncurkan produk yang meniru rasa daging sapi menggunakan bahan dasar tanaman, termasuk kedelai dan kentang, dan yang lebih menarik lagi, mereka menggunakan molekul yang disebut heme untuk memberikan rasa seperti daging. Impossible Burger 2.0 (versi lebih baru dari burger mereka) dibuat menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan efisien dibandingkan dengan daging sapi konvensional.
Sekarang: Daging vegan kini dapat ditemukan di hampir setiap toko makanan dan restoran, dari burger, sosis, hingga steak vegan. Produk-produk ini semakin populer tidak hanya di kalangan vegetarian dan vegan, tetapi juga di kalangan konsumen yang sadar lingkungan dan kesehatan.
Kebanyakan umat Islam yang mengonsumsi makanan halal menghindari daging yang diperoleh dari hewan yang disembelih secara tidak sah atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (seperti menyembelih dengan cara yang benar dan menyebut nama Allah). Lantas, bagaimana status hukum daging sintetis dan daging vegan dalam konteks hukum Islam?
Daging Sintetis
Daging sintetis, yang dihasilkan melalui kultur sel hewan, menimbulkan pertanyaan mengenai apakah produk tersebut dianggap halal atau tidak. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan:
Sumber Sel: Jika sel-sel hewan yang digunakan untuk membuat daging sintetis berasal dari hewan yang disembelih dengan cara yang tidak halal atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, maka kemungkinan besar daging sintetis tersebut dianggap tidak halal.
Proses Pembiakan Sel: Proses bioteknologi yang digunakan dalam pengembangan daging sintetis dapat menumbuhkan sel-sel hewan tanpa melibatkan penyembelihan langsung. Namun, jika proses pengolahan atau bahan tambahan yang digunakan dalam kultur sel mengandung unsur yang tidak halal (seperti alkohol atau enzim dari hewan non-halal), maka produk ini bisa jadi tidak halal.
Perspektif Ulama: Pendapat ulama mengenai daging sintetis bervariasi. Sebagian ulama menganggap bahwa jika daging tersebut tidak melalui penyembelihan yang halal atau tidak mengandung bahan-bahan haram, maka ia bisa dianggap halal, sementara yang lain mungkin lebih berhati-hati dan menganggapnya masih meragukan.
Daging Vegan
Daging vegan, yang berbahan dasar tumbuhan, lebih jelas dalam hal status halalnya. Karena produk ini tidak mengandung bahan hewani, selama bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan haram (seperti alkohol, gelatin dari hewan, atau enzim tertentu), maka produk ini pada umumnya dapat dianggap halal. Bahkan, bagi umat Islam yang menginginkan makanan yang lebih ramah lingkungan dan sehat, daging vegan sering dianggap sebagai alternatif yang baik.
Daging Sintetis: Daging sintetis memiliki potensi besar untuk menggantikan daging konvensional, terutama dalam hal keberlanjutan dan pengurangan dampak terhadap lingkungan. Namun, status halalnya bagi umat Islam masih perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama terkait dengan sumber sel dan bahan yang digunakan dalam prosesnya.
Daging Vegan: Daging vegan, yang berbahan dasar nabati, lebih jelas dalam hal status halalnya dan dapat menjadi pilihan yang lebih aman bagi umat Islam, selama proses produksinya bebas dari kontaminasi bahan haram.
Baik daging sintetis maupun daging vegan menawarkan solusi alternatif yang menarik dalam menghadapi tantangan terkait keberlanjutan dan etika dalam konsumsi daging, dan semakin banyak orang yang beralih ke pilihan-pilihan ini, baik untuk alasan kesehatan, lingkungan, atau keyakinan agama.