mengenal Carbon Foot Print dan dampaknya terhadap bisnis di Indonesia
Kebijakan negara-negara maju terkait upaya menuju zero carbon emission, diantara nya adalah kebijakan crbon foot print, dan penerapan tarif atau pajak carbon.
Apa itu Carbon foot print dan bagaimana pengaruhnya terhadap pengusaha dan bisnis yang berlangsung di Indonesia?
Mari kita simak ulasan berikut ...
Kebijakan Carbon Footprint: Pengertian, Penerapan, Dampak, dan Prospek ke Depan
Carbon footprint (jejak karbon) adalah total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dalam suatu periode waktu tertentu. Emisi ini biasanya dihitung dalam satuan ton CO2 ekuivalen (CO2e), yang mencakup karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan global, seperti metana (CH4) dan nitrous oxide (N2O). Jejak karbon bisa dihitung pada berbagai level, seperti individu, perusahaan, atau negara, dan berkaitan erat dengan konsumsi energi, transportasi, produksi, hingga pengelolaan limbah.
Penerapan kebijakan carbon footprint mengacu pada upaya untuk mengukur, mengurangi, dan mengelola jejak karbon yang dihasilkan oleh individu, perusahaan, atau negara. Kebijakan ini diterapkan di berbagai level, mulai dari kebijakan global yang disepakati dalam kesepakatan internasional seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris, hingga kebijakan nasional yang diberlakukan oleh negara-negara masing-masing.
| Baca Juga : Eropah mempelopori Net Zero Emission
a. Kebijakan Global dan Nasional
Secara global, negara-negara telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui mekanisme seperti perdagangan karbon (carbon trading) dan pembatasan emisi. Di Indonesia, kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca diatur dalam NDC (Nationally Determined Contributions) yang merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris. Pemerintah Indonesia juga mendorong penerapan teknologi rendah karbon dan pengelolaan energi yang lebih efisien untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
b. Penerapan di Sektor Usaha
Bagi pengusaha, penerapan kebijakan carbon footprint dapat berupa kewajiban untuk menghitung dan melaporkan emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas bisnis mereka. Sebagai contoh, perusahaan yang bergerak di sektor industri berat, energi, dan transportasi cenderung memiliki jejak karbon yang lebih besar dibandingkan sektor lain. Oleh karena itu, perusahaan tersebut harus beradaptasi dengan kebijakan yang mengharuskan mereka untuk menurunkan emisi karbon.
Beberapa kebijakan yang diterapkan antara lain:
Emisi Cap and Trade: Sistem pembatasan emisi yang memberi batasan pada total emisi yang boleh diproduksi oleh seluruh sektor industri, namun memberi fleksibilitas pada perusahaan untuk membeli dan menjual "kuota" emisi.
Pajak Karbon: Kebijakan yang mengenakan biaya pada perusahaan berdasarkan jumlah emisi karbon yang mereka hasilkan.
Sertifikasi dan Label Karbon: Perusahaan didorong untuk memperoleh sertifikasi yang menunjukkan bahwa produk atau jasa mereka telah mengurangi jejak karbon, yang juga dapat meningkatkan daya saing di pasar global.
| Baca Juga : Sejarah Kebijakan Carbon Foot Prnt
Bagi pengusaha Indonesia, kebijakan carbon footprint dapat memiliki dampak positif dan negatif. Beberapa dampak yang dapat terjadi antara lain:
a. Dampak Positif:
Efisiensi Operasional: Dengan mengukur dan mengurangi jejak karbon, perusahaan dapat mengidentifikasi area yang membutuhkan efisiensi energi, yang dapat mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang.
Akses ke Pasar Global: Di banyak negara, konsumen dan regulator lebih memilih produk yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan yang dapat mengurangi jejak karbon dapat memperoleh keuntungan kompetitif di pasar internasional.
Inovasi Teknologi: Kebijakan ini mendorong pengusaha untuk berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan, yang bisa menghasilkan produk baru dan membuka peluang bisnis di sektor energi terbarukan dan teknologi hijau.
b. Dampak Negatif:
Biaya Transisi: Penerapan kebijakan untuk mengurangi emisi karbon memerlukan investasi awal dalam teknologi yang lebih efisien, peralatan yang ramah lingkungan, atau perubahan proses produksi. Bagi pengusaha kecil dan menengah (UKM), hal ini bisa menjadi beban yang berat.
Keterbatasan Infrastruktur: Beberapa sektor industri di Indonesia masih bergantung pada energi fosil. Pengalihan ke energi terbarukan atau teknologi rendah karbon dapat terhambat oleh kurangnya infrastruktur dan dukungan dari pemerintah.
Peningkatan Biaya: Dalam jangka pendek, penerapan kebijakan pengurangan emisi bisa menyebabkan kenaikan biaya produksi, terutama bagi sektor yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil atau proses industri intensif energi.
Menghitung jejak karbon bisa dilakukan dengan menggunakan metode yang disesuaikan dengan jenis kegiatan dan sektor yang dijalankan. Berikut adalah langkah-langkah umum untuk menghitung jejak karbon:
Identifikasi Sumber Emisi: Sumber emisi karbon dapat berasal dari penggunaan energi, transportasi, proses industri, dan limbah.
Pengumpulan Data: Data yang dibutuhkan meliputi konsumsi energi (listrik, gas, bahan bakar), jarak tempuh kendaraan, bahan baku yang digunakan, serta limbah yang dihasilkan.
Perhitungan Emisi: Gunakan faktor emisi yang relevan untuk setiap jenis sumber (misalnya, berapa banyak CO2 dihasilkan per liter bahan bakar atau kWh listrik). Data ini biasanya tersedia dalam database yang disediakan oleh pemerintah atau organisasi internasional.
Total Emisi: Setelah menghitung emisi dari berbagai sumber, jumlahkan semua hasil untuk mendapatkan total jejak karbon perusahaan.
Sebagai contoh, untuk menghitung emisi dari penggunaan energi listrik, rumusnya adalah:
Emisi CO2=Konsumsi Listrik (kWh)×Faktor Emisi CO2 (kg/kWh)\text{Emisi CO2} = \text{Konsumsi Listrik (kWh)} \times \text{Faktor Emisi CO2 (kg/kWh)}Emisi CO2=Konsumsi Listrik (kWh)×Faktor Emisi CO2 (kg/kWh)
Penerapan kebijakan pengurangan jejak karbon diperkirakan akan semakin meluas di masa depan. Beberapa prospek penting terkait penerapannya adalah:
a. Eropa: Eropa telah menjadi pemimpin global dalam kebijakan perubahan iklim, dengan Uni Eropa mengimplementasikan European Green Deal yang bertujuan untuk mencapai net-zero emissions pada tahun 2050. Ini mencakup peraturan yang lebih ketat mengenai penghitungan dan pengurangan jejak karbon perusahaan, serta inisiatif pasar karbon yang lebih ambisius. Perusahaan di Eropa dipaksa untuk lebih transparan dalam melaporkan jejak karbon mereka, dan semakin banyak negara yang mengadopsi pajak karbon dan cap-and-trade systems.
b. Dunia: Secara global, semakin banyak negara yang mengadopsi kebijakan terkait jejak karbon, baik melalui perjanjian internasional seperti Perjanjian Paris, maupun kebijakan domestik. Penerapan teknologi rendah karbon, seperti kendaraan listrik dan energi terbarukan, semakin berkembang pesat. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan India juga semakin fokus pada pengurangan emisi.
c. Prospek Pengusaha Global: Di pasar global, ada tekanan yang semakin besar bagi perusahaan untuk mengurangi jejak karbon mereka, karena konsumen dan investor lebih memperhatikan keberlanjutan. Oleh karena itu, perusahaan yang dapat mengurangi emisi karbon mereka tidak hanya akan mematuhi peraturan, tetapi juga akan memperoleh keuntungan dari loyalitas konsumen dan akses ke pasar yang lebih luas.
Penerapan kebijakan carbon footprint, meskipun menantang, dapat membawa banyak manfaat bagi pengusaha, terutama dalam hal efisiensi energi dan daya saing di pasar global. Meskipun ada biaya dan tantangan dalam transisi menuju bisnis rendah karbon, prospek jangka panjang menunjukkan bahwa kebijakan ini akan semakin penting di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perusahaan yang dapat mengelola jejak karbon mereka dengan baik akan berada pada posisi yang lebih baik untuk menghadapi masa depan yang lebih berkelanjutan.
Dengan meningkatnya kesadaran global terhadap perubahan iklim, penerapan kebijakan ini akan terus berkembang, dan bagi pengusaha, ini adalah peluang untuk berinovasi dan beradaptasi dengan tren global menuju ekonomi hijau.