kebijakan Jejak Karbon, adalah salah satu kebijakan yang harus di ambil dalam rangka menjaga kelestarian masa depan kehidupan makhluk hidup di bumi selalu asri, sehat dan nyaman.
Lalu bagaimana sejarah dikenal nya istilah Carbon Foot Print? dan kapan dimulai penelitian tentang hal tersebut? lalu apa langkah-langkah yang telah dilakukan masyarakat dunia dalam menerapkan kebijakan tersebut?
Mari simak ulasan nya.
Kebijakan carbon footprint, sebagai bagian dari upaya global untuk mengatasi perubahan iklim, memiliki akar yang dalam pada sejarah ilmiah, kesadaran lingkungan, dan perjanjian internasional. Meskipun ide untuk menghitung dan mengurangi dampak emisi karbon sudah ada sejak awal abad ke-20, kebijakan terkait carbon footprint baru berkembang pesat pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang dampak buruk emisi gas rumah kaca terhadap pemanasan global.
Awal Mula Kesadaran Terhadap Dampak Emisi Karbon (lanjutan)
Pada abad ke-19, ilmuwan seperti John Tyndall (1859) dan Svante Arrhenius (1896) sudah mulai menyadari bahwa gas-gas tertentu di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2), berkontribusi terhadap efek rumah kaca, yang mengarah pada pemanasan global. Tyndall, seorang ilmuwan asal Irlandia, menemukan bahwa gas-gas seperti CO2 dan metana memiliki kemampuan untuk menyerap panas, sedangkan Arrhenius mengembangkan teori matematis pertama tentang hubungan antara konsentrasi CO2 di atmosfer dan suhu Bumi.
Meskipun temuan ini sangat penting dalam membangun dasar ilmiah bagi pemahaman kita tentang perubahan iklim, dampak nyata dari aktivitas manusia terhadap peningkatan CO2 baru dirasakan secara lebih luas pada abad ke-20, seiring dengan peningkatan konsumsi energi fosil, deforestasi, dan industrialisasi.
2. Peningkatan Emisi dan Pemanasan Global (Abad 20)
Masuknya abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, menandai periode industrialisasi yang pesat. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak, batu bara, dan gas alam meningkat tajam, yang secara langsung meningkatkan emisi karbon dioksida. Selama dekade-dekade ini, para ilmuwan dan aktivis mulai menyadari bahwa emisi CO2 yang tinggi dapat mengarah pada pemanasan global yang tak terkendali.
Pada tahun 1970-an, dengan munculnya gerakan lingkungan dan perhatian terhadap polusi, ada dorongan yang lebih kuat untuk mulai mengukur dan mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas manusia. Konferensi Stockholm pada 1972 menjadi tonggak sejarah penting dalam kesadaran global terhadap masalah lingkungan, meskipun pada saat itu fokus utamanya lebih pada polusi udara dan air, bukan pada emisi karbon secara spesifik.
3. Kemunculan Konsep Jejak Karbon (Akhir Abad ke-20)
Konsep "carbon footprint" atau jejak karbon mulai dikenal pada akhir abad ke-20, terutama setelah terjadinya perdebatan publik yang semakin intensif mengenai perubahan iklim dan pemanasan global. Pada tahun 1990-an, sejumlah penelitian ilmiah mulai mengaitkan emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil dengan perubahan iklim global. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang didirikan pada 1988 oleh PBB dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), memberikan bukti ilmiah yang lebih kuat bahwa emisi gas rumah kaca, termasuk CO2, menjadi penyebab utama pemanasan global.
Pada tahun 1999, ilmuwan asal Inggris, Mathis Wackernagel dan William Rees, memperkenalkan konsep "Ecological Footprint" yang menggambarkan bagaimana manusia mengonsumsi sumber daya alam. Dalam konteks ini, jejak karbon (carbon footprint) menjadi bagian dari konsep yang lebih besar, yaitu jejak ekologis yang mengukur dampak manusia terhadap lingkungan dalam hal penggunaan energi dan emisi karbon.
4. Perkembangan Kebijakan dan Protokol Internasional (1990-an - 2000-an)
Pada tahun 1997, dunia menyaksikan perjanjian Protokol Kyoto, yang merupakan langkah pertama yang signifikan untuk mengikat negara-negara dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca. Protokol Kyoto, yang berlaku pada 2005, mengharuskan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka hingga 5% di bawah tingkat emisi 1990 pada periode 2008-2012. Ini menjadi cikal bakal kebijakan terkait emisi karbon di tingkat internasional dan memperkenalkan konsep pasar karbon, di mana negara-negara atau perusahaan yang dapat mengurangi emisi mereka lebih dari target bisa menjual kredit karbon kepada negara atau perusahaan lain.
Namun, penerapan Protokol Kyoto memiliki keterbatasan, karena negara-negara besar seperti Amerika Serikat tidak meratifikasinya, dan negara-negara berkembang seperti China dan India tidak terikat pada kewajiban pengurangan emisi.
5. Munculnya Kebijakan Carbon Footprint di Tingkat Korporat dan Individu
Pada awal 2000-an, dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap perusahaan-perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan mereka, banyak organisasi mulai mengadopsi kebijakan untuk menghitung dan mengurangi jejak karbon mereka. Konsep carbon footprint pun mulai diterapkan pada level perusahaan, produk, dan bahkan individu.
Pada tahun 2007, perusahaan konsultan WSP di Inggris mempopulerkan istilah "carbon footprint" sebagai cara untuk mengukur emisi karbon yang terkait dengan aktivitas atau produk tertentu. Beberapa perusahaan besar mulai mengeluarkan laporan jejak karbon, yang menjelaskan jumlah emisi yang dihasilkan dalam seluruh rantai nilai produk mereka, mulai dari produksi, distribusi, hingga penggunaan konsumen.
6. Perjanjian Paris dan Perkembangan Kebijakan Global (2015 - Sekarang)
Momen penting berikutnya terjadi pada Perjanjian Paris 2015, yang membawa komitmen internasional lebih lanjut dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam perjanjian ini, negara-negara di seluruh dunia sepakat untuk menjaga suhu rata-rata global tidak melebihi 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri dan berusaha membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius.
Di bawah perjanjian ini, negara-negara diminta untuk mengembangkan rencana pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan ini semakin mendorong adopsi kebijakan penghitungan dan pengurangan carbon footprint oleh negara, sektor swasta, dan individu. Negara-negara yang menandatangani Perjanjian Paris, termasuk Indonesia, kini memiliki kewajiban untuk memantau, melaporkan, dan mengurangi emisi karbon mereka.
7. Tren Terkini dan Masa Depan Kebijakan Carbon Footprint
Pada dekade terakhir, semakin banyak negara dan perusahaan yang mengadopsi kebijakan carbon footprint sebagai bagian dari strategi keberlanjutan mereka. Teknologi untuk mengukur jejak karbon menjadi lebih canggih dan dapat diterapkan pada berbagai sektor, dari industri berat hingga konsumsi energi per rumah tangga. Di banyak negara Eropa dan Amerika Utara, pelaporan emisi karbon sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan besar, dan pajak karbon serta perdagangan kredit karbon semakin berkembang.
Perusahaan-perusahaan juga semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan dan pengelolaan jejak karbon mereka, bukan hanya sebagai upaya untuk mematuhi peraturan, tetapi juga untuk meningkatkan citra merek mereka di mata konsumen yang semakin peduli terhadap masalah lingkungan.
Kesimpulan
Kebijakan carbon footprint berkembang seiring dengan pemahaman manusia mengenai dampak aktivitas ekonomi terhadap iklim global. Dari awal yang sederhana pada abad ke-19, hingga perkembangan Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris di abad ke-21, kebijakan ini telah menjadi bagian penting dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Meskipun tantangan besar masih ada, terutama dalam hal implementasi dan penegakan hukum, konsep carbon footprint menjadi semakin relevan di masa depan, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan bagi generasi mendatang.